Handphone Sekuler
*Oleh: Hamdan Juhannis
INISIATIF.CO – Saya masih lanjut membahas tentang dampak sosial dari lahirnya Qur’an digital. Faktornya karena begitu banyak inspirasi dari pembaca yang merespon coretan saya secara kritis.

Menjawab pertanyaan tentang yang mana sebenarnya dipersepsi sebagai kitab suci? Pertanyaan ini sudah lama muncul jauh sebelum munculnya era digital, terutama dari pengkaji ilmu ketuhanan (teologi). Namun mari kita membahasnya dalam persektif awam saja, istilahnya pemerhati atau simpatisan, tapi tentu tidak mengarah pada pendekatan “cocoklogi”.
Pertanyaan ini muncul karena Qur’an secara mushaf sudah berubah wujud menjadi Qur’an digital. Qur’an yang sebelumnya berada pada tulisan kertas, berubah wujud menjadi Qur’an yang dirangkai secara digital. Apakah harus dipersepsi sama?
Seorang cerdik pandai memperbaharui pemahaman lama kita bahwa Qur’an yang turun ke Rasul melalui Jibril itu bukan sesuatu yang tertulis. Rasul menyampaikannya kepada sahabat itu juga tidak tertulis tetapi melalui pemahaman yang berada di otak, atau singkatnya disebut hafalan. Insiasi untuk menuliskan Qur’an muncul karena motif utamanya, supaya memori kolektif tentang Qur’an itu terjaga. Masifnya gerakan penulisan Qur’an pasca-Rasul terjadi setelah banyak sahabat penghafal Qur’an yang wafat. Jadi kesucian Qur’an itu dalam persepktif awal diturunkannya sudah jelas bukan dipahami dalam bentuk yang tertulis.
Teman cendekia yang lain mengurai kegelisahan saya tentang cara menyikapi kesucian Qur’an yang ada dalam Hp. Menurutnya, Qur’an tersimpan bukan dalam bentuk fisik “an sich” tapi dalam bentuk microchip (internal memory), yaitu berupa sirkuit elektronik yg rumit, bisa juga tersimpan di “cloud” (awan) yg bisa dihadirkan kapan saja. Karenanya, Qur’an yang tersimpan di Hp bukan Qur’an yang berbentuk fisik tapi berupa “sirkuit elektronik” yang muncul di layar jika dibutuhkan. Karenanya jika terbuka harus dikembalikan terlebih dahulu sebagai sirkuit elektronik atau ke cloud, baru masuk toilet karena saat ditutup, Qur’an tidak lagi berwujud dalam bentuk tulisan, dan wujudnya tidak bisa disebut berada di dalam Hp.
Persis analogi beberapa teman lain yang mampu memainkan logika berpikir, bahwa memahami Qur’an digital yang terdapat di Hp ibarat memahami Qur’an yang berada di kepala para penghafal Qur’an (Hafidz). Qur’an di kepala mereka bukan dalam bentuk yang tertulis tapi berada dalam jaringan sel otak yang tidak diketahui keberadaannya, ibarat chip komputer yang berada dalam kepala mereka. Qur’an itu hadir saat otak memberi instruksi untuk hadir dalam bentuk lafalan.
Itulah seorang teman pengusaha berseloroh bahwa ketika seseorang dengan Hp yang memiliki aplikasi Qur’an cukup memastikan bahwa Qur’an tidak terbuka di layar saat masuk ke toilet dan tidak perlu melepaskan dari kantongnya, sama persis bagi siapa saja yang menghafal ayat atau surah yang tersimpan di kepalanya, tidak perlu melepas kepalanya saat masuk ke toilet.
Atas dasar argumen Qur’an yang ada di Hp bukanlah sesuatu yang tertulis, karenanya percampuran aplikasi Qur’an dengan aplikasi yang lain bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan, karena Qur’an sejatinya tidak berada dalam Hp yang secara fisik saat Qur’annya tidak terbuka.
Namun argumen ini saya debat karena ada pemahaman kolektif dari masyarakat Muslim khususnya dari guru agama bahwa kalau ingin hafalannya tinggal, jangan banyak cemari otaknya dengan hal-hal yang “kotor”.
Saya lebih tertarik dengan praktik seorang kawan senior, memilih menggunakan dua Hp. Satu Hp yang memiliki aplikasi Qur’an yang dia jamin kesuciannya dan satu Hp yang memiliki aplikasi dan program campuran yang tidak dijamin kesuciannya. Kalau begitu, saya perkenalkan istilah baru: Handphone sekuler.[]
*Penulis adalah Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin.