Gita Wirjawan: Pendidikan Indonesia Butuh Guru yang Pandai Storytelling , Bukan Sekadar Ahli
INISIATIF.CO, Jakarta — Pengalaman hidup di banyak negara dan kegemaran berimajinasi sejak kecil membentuk Gita Wirjawan menjadi sosok multikultural yang kini gigih mendorong transformasi pendidikan Indonesia. Mantan Menteri Perdagangan ini berujar bahwa sosok guru yang pandai bercerita (storytelling) lebih penting daripada ahli yang kaku.
“Pendidikan harus memicu imajinasi, bukan hafalan,” ujarnya dalam sebuah podcast Syauqi Robbani seperti dilihat INISIATIF.CO, Rabu (19/2/2025).

Perjalan hidup Gita penuh petualang, ia lahir di Jakarta dan menghabiskan 13 tahun pertama hidupnya di ibu kota. Ayahnya, seorang dokter WHO, membawanya ke Bangladesh pada 1984 untuk menangani wabah malaria dan kolera.
Dua tahun kemudian, ia pindah ke India karena minimnya akses SMA di Bangladesh. Di sana, ia belajar tiga bahasa (Bengali, Hindi, Inggris) dan bertemu guru-guru yang membentuk pola pikirnya. “Belajar bahasa Bengali, Hindi, dan Inggris membuka mata saya bahwa keragaman budaya adalah kekuatan,” kisahnya.
Guru SD di Jakarta yang melatih mencongak (berhitung cepat) dan mentor musik di India yang mengajarkan filsafat melalui lagu menjadi kunci perkembangan kreativitasnya. “Mereka mengajarkan saya bahwa ilmu bisa disampaikan dengan cara menyenangkan, bukan monoton,” kenangnya.
Setelah meraih gelar di Harvard dan berkarier di AS, Gita menyadari kesenjangan pendidikan Indonesia. Data BPS 2023 menunjukkan 88% kepala keluarga dan 93% elektorat politik tidak bergelar S1. “Ini tantangan besar. Tapi solusinya bukan sekadar gelar, melainkan cara guru mengajar,” paparnya.
Menurutnya, guru yang mahir storytelling (meski bukan ahli) lebih mampu menumbuhkan rasa ingin tahu siswa. “Lihatlah Bait Al Hikmah di masa Kejayaan Abbasiyah, kepemimpinan ilmuwan lintas agama dan budaya itu yang harus ditiru,” ucap Gita, merujuk sejarah yang sering dibahas dalam podcastnya.
Bagi Gita, guru ideal bukanlah yang paling ahli dalam akademis, tapi yang mampu bercerita (storytelling). “Guru fisika yang jago storytelling lebih mungkin melahirkan fisikawan daripada profesor jenius yang kaku,” tegasnya.
Ia menekankan, pendidikan harus memicu imajinasi, bukan sekadar menghafal rumus. “Filsuf besar seperti Einstein pun berhasil karena imajinasi lebih penting dari pengetahuan,” ujarnya, mengutip sang ilmuwan.
Kisah Gita Wirjawan bukan hanya tentang kesuksesan individu, tapi potret betapa lingkungan pendidikan—keluarga, sekolah, dan masyarakat—dapat membentuk manusia yang adaptif di dunia kompleks. Pesannya jelas di era disrupsi, imajinasi adalah mata uang baru. Dan untuk mencapainya, Indonesia butuh lebih banyak guru yang tak hanya pintar, tapi juga piawai membuka pintu imajinasi murid-muridnya.
“Pendidikan bukan tentang memformulasikan jawaban, tapi merangsang pertanyaan. Di sanalah masa depan bermula,” sebutnya.
Gita optimis teknologi bisa memangkas ketimpangan pendidikan. “Anak di Garut kini bisa akses podcast berkualitas lewat HP, sesuatu yang tak terbayang 20 tahun lalu,” tuturnya. Namun, ia mengingatkan kualitas guru tetap kunci. “Singapura maju karena guru terlatih dan budaya perfeksionisme. Kita perlu belajar dari sana,” tambahnya.
Bagi Gita, transformasi pendidikan bukan hanya tugas pemerintah. “Setiap orang tua, guru, bahkan podcaster punya peran. Ceritakan kisah-kisah yang membangkitkan imajinasi, karena dari sanalah lahir disrupsi positif,” tandasnya.[]