ANTINARKOBA

Gara-Gara Barcode, Aceh Mau ‘Numpang Isi Bensin’ ke Negeri Tetangga?

Ilustrasi

BPH Migas mungkin membayangkan SPBU di Aceh secanggih di Senayan. Mesin pemindai canggih, operator berkaus bersih, dan antrian rapi bak konser Coldplay. Nyatanya, di Meulaboh atau Lhokseumawe, SPBU sering kali cuma punya satu-dua alat pemindai yang rusaknya lebih cepat daripada durasi hubungan mantan pacar. Alhasil, nelayan yang sudah antre dari subuh harus pulang dengan tangan hampa, sementara kapal-kapal besar bermodal tebal diam-diam menikmati BBM subsidi lewat jalur belakang. Ironisnya, kebocoran subsidi yang katanya ingin dicegah dengan barcode justru terjadi karena kebijakan kaku yang tak mau memahami realitas lokal.  

Jakarta berkoar, “Ini demi mencegah penyalahgunaan!” Tapi di Aceh, yang terjadi adalah penyalahgunaan terhadap semangat otonomi khusus. Daripada duduk bersama merancang sistem yang sesuai geografis Aceh, pemerintah pusat lebih memilih jadi “tuan tahu segalanya” yang mengirim surat penolakan berbahasa birokratis. Padahal, solusinya bisa sederhana, mengapa tak ada kartu subsidi berbasis data kependudukan Aceh yang diakui secara nasional? Atau memodifikasi sistem verifikasi untuk daerah terpencil? Tapi tidak, pilihan jatuh pada kebijakan seragam yang membuat Aceh (daerah yang pernah berdarah-darah memperoleh status istimewa) diperlakukan sama seperti daerah lain.  

Di tengah kebuntuan ini, BPH Migas dan pemerintah pusat seolah lupa bahwa kata “istimewa” dalam UUPA bukan sekadar stiker di plat nomor kendaraan dinas. Ia seharusnya berarti fleksibilitas, dialog, dan pengakuan bahwa Aceh punya DNA berbeda. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Jakarta bersikap seperti orang tua yang memaksa anaknya memakai baju kebesaran, lalu marah ketika si anak sulit bergerak.  

Lalu, pantaskah Aceh ingin merdeka? Pertanyaan ini mungkin menggelitik sebagian pihak, tapi mari jujur. Andai Jakarta terus bersikap arogan dengan menginjak-injak keistimewaan Aceh, bukankah wajar jika keinginan untuk memutuskan diri menguat? Tapi, mari tak terjebak dalam dikotomi hitam-putih. Yang Aceh butuhkan bukan merdeka, melainkan Jakarta yang mau mendengar. Jika barcode saja tak bisa didiskusikan ulang, apalagi urusan besar lainnya?  

Lalu, apa solusinya?  

Pertama, Jakarta harus kembali ke meja negosiasi dengan perspektif asymmetric decentralization (Shah & Thompson, 2004). Aceh boleh memodifikasi sistem verifikasi BBM subsidi dengan skema yang sesuai infrastrukturnya. Misalnya, menggunakan data kependudukan berbasis Provinsi Aceh yang terintegrasi dengan sistem nasional.  

Editor : Redaksi
Tutup