Gara-Gara Barcode, Aceh Mau ‘Numpang Isi Bensin’ ke Negeri Tetangga?
INISIATIF.CO – Bayangkan seorang anak yang meminta izin kepada orangtuanya untuk bermain di halaman rumah. Sang anak berkata, “Aku ingin main di sini, tapi tolong jangan ikat kakiku dengan rantai.” Sang orangtua menolak, bersikeras bahwa rantai itu untuk “keamanan”. Si anak pun merajuk, mengancam kabur ke rumah tetangga. Orangtua terkejut, “Kenapa kamu tidak patuh? Ini demi kebaikanmu!” Tapi si anak hanya bergumam, “Aku cuma mau dianggap ada…”
Aceh hari ini adalah si anak itu. Gubernur Aceh Muzakir Manaf meminta Jakarta—sang “orangtua”—untuk melepas “rantai” barcode BBM subsidi. Alasannya jelas, Aceh bukan anak kecil yang perlu diawasi dengan kode QR di setiap langkahnya. Ia adalah daerah otonomi khusus yang dijamin UU No. 11/2006, layaknya remaja yang berhak memilih baju sendiri tanpa diatur detail warnanya. Tapi Jakarta, dengan pola pikir helicopter parent, tetap memaksa Aceh memakai “jaket” kebijakan nasional yang sempit, sambil berteriak, “Ini demi akuntabilitas!”

Padahal, dalam teori otonomi daerah (Smith, 1985), hubungan pusat-daerah seharusnya bersifat asimetris—bukan satu ukuran untuk semua. Aceh, dengan kekhususan politik dan sejarahnya, seharusnya mendapat fleksibilitas lebih. UUPA Pasal 1(5) bahkan menyatakan bahwa otonomi khusus Aceh mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali urusan luar negeri, pertahanan, dan moneter. Artinya, pengelolaan BBM subsidi yang menyangkut hajat hidup nelayan dan petani seharusnya bisa diatur Aceh melalui Qanun, selama tak bertabrakan dengan konstitusi.
Tapi Jakarta seperti sengaja pura-pura lupa. BPH Migas bersembunyi di balik dalih “akuntabilitas APBN”, seolah-olah Aceh adalah anak nakal yang tak bisa dipercaya mengelola uang jajan. Padahal, data KPK 2023 menunjukkan bahwa kebocoran anggaran di kementerian pusat justru 3x lebih besar daripada kebocoran di daerah otonom. Ini bukan soal trust, tapi soal kontrol. Jakarta khawatir kehilangan “cambuk” jika Aceh benar-benar mandiri.
Akademisi seperti Edward Aspinall (2009) mengingatkan, penolakan terhadap hak-hak khusus Aceh adalah bibit disintegrasi. Ketika Jakarta menolak permintaan sederhana seperti penghapusan barcode, ia mengirim pesan bahwa “keistimewaanmu hanya ilusi”. Ini berbahaya. Sejarah membuktikan, Aceh bukan daerah yang diam ketika diperlakukan tak adil. Analoginya, jika anak terus dipersulit, ia akan mencari “rumah” lain yang memberinya ruang bernapas—entah dengan mendekati aktor internasional, atau menggalang dukungan “separatis”.