Express Bahari dan Arogansi Kapital
Tragedi kapal Sewol di Korea Selatan pada 2014 menjadi pengingat kelam tentang akibat dari mengabaikan protokol keselamatan, kapten dan operator kapal dihukum karena lebih mementingkan jadwal daripada evakuasi penumpang.
Di sisi lain, insiden ini juga menyingkap masalah budaya individualistik dalam masyarakat. Penumpang yang mengancam akan “meminta pertanggungjawaban” karena khawatir kehilangan tiket pesawat mencerminkan sikap yang menempatkan kepentingan pribadi di atas solidaritas sosial. Padahal, dalam banyak kasus, sistem transportasi di negara lain justru mengajarkan sebaliknya.
Pada 2018, kereta Shinkansen di Osaka menghentikan lajunya di stasiun yang tidak terjadwal untuk menyelamatkan penumpang yang mengalami serangan jantung. Ribuan penumpang terlambat, tetapi tidak ada protes. Masyarakat memahami bahwa nyawa manusia tidak bisa dikompromikan.
Agar insiden serupa tidak terulang, langkah-langkah konkret harus segera diambil. Pertama, otoritas pelabuhan dan pemerintah perlu menetapkan sanksi tegas bagi operator kapal yang melanggar protokol darurat medis, seperti denda besar atau pemecatan. Kedua, pelatihan manajemen krisis bagi kapten dan kru kapal harus diwajibkan, termasuk cara menghadapi tekanan penumpang tanpa mengorbankan nyawa manusia. Ketiga, kolaborasi lintas sektor antara rumah sakit, pelabuhan, dan maskapai penerbangan perlu dibangun. Misalnya, maskapai bisa menyediakan kebijakan tiket cadangan bagi penumpang yang tertunda karena alasan kemanusiaan, sehingga konflik antara kepentingan medis dan komersial dapat diminimalkan.
Pada akhirnya, insiden ini adalah ujian bagi integritas layanan transportasi darurat. Otoritas kapal tidak boleh terjebak dalam logika bisnis semata, tetapi harus bertindak sebagai penjaga nyawa yang bijaksana. Regulasi yang jelas, keberanian moral untuk menolak tekanan individu, dan edukasi publik tentang pentingnya solidaritas dalam situasi darurat adalah kunci untuk mencegah terulangnya tragedi seperti ini.
Ketika sirene darurat medis berbunyi, tidak ada alasan bagi kapal untuk berlayar sebelum semua nyawa yang rentan terselamatkan, karena dalam hitungan menit, keputusan itu bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.[]