Dua Kali Stagnan di Urutan Bawah, Abdya Perlu Evaluasi Serius Jelang MTQ 2027
INISIATIF.CO, Blangpidie – Harapan untuk melihat Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) bangkit di ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Provinsi Aceh kembali kandas.
Pada MTQ ke-37 yang digelar di Kabupaten Pidie Jaya, 1–8 November 2025, Abdya harus puas berada di posisi ke-20 dari 23 kabupaten/kota peserta. Hasil ini tercantum dalam Lampiran II Keputusan Dewan Hakim MTQ Aceh ke-37 Nomor 02/MTQ/PROV.ACEH/2025 tertanggal 7 November 2025.
Posisi tersebut bukan hal baru. Dua tahun sebelumnya, pada MTQ ke-36 di Simeulue (2023), Abdya juga menempati peringkat yang sama. Artinya, selama dua kali penyelenggaraan MTQ Aceh berturut-turut, capaian Abdya tak bergerak, stagnan di urutan bawah. Ini sebenarnya bukan hanya persoalan angka peringkat, tetapi mencerminkan adanya masalah sistemik dalam pembinaan, seleksi, dan pengembangan potensi qari-qariah di daerah berjuluk Bumoe Breuh Sigupai ini.
Bayangkan, dari 74 kafilah yang dikirim tahun ini, Abdya hanya mampu membawa pulang empat gelar Harapan II dan empat gelar Harapan III dengan total nilai 22 poin. Tidak satu pun gelar juara utama berhasil diraih. Jika dibandingkan dengan daerah lain yang tampil lebih konsisten seperti Aceh Besar, Banda Aceh, atau Pidie, tampak jelas bahwa Abdya masih tertinggal dalam hal strategi pembinaan dan kualitas pelatih.
Kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh pihak terkait, pemerintah daerah, lembaga keagamaan, dan masyarakat, bahwa pembinaan tilawatil Qur’an tidak cukup dilakukan menjelang kompetisi. Dibutuhkan pembenahan dari hulu hingga hilir, mulai dari sistem rekrutmen peserta, pelatihan berjenjang, hingga pendampingan berkelanjutan bagi para qari dan hafiz muda.
Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh dan objektif. Pemerintah daerah perlu meninjau ulang pola pembinaan yang selama ini berjalan. Apakah program pelatihan telah menyentuh lapisan akar rumput? Apakah pembinaan di tingkat gampong benar-benar aktif dan terintegrasi dengan kebijakan kabupaten? Tanpa perbaikan sistemik, Abdya hanya akan menjadi peserta yang rutin hadir di MTQ, tetapi tanpa prestasi berarti.
Momentum untuk berbenah sebenarnya terbuka lebar. Pada tahun 2027, Abdya akan menjadi tuan rumah MTQ Aceh ke-38. Status ini bukan hanya kehormatan, tetapi juga tanggung jawab besar.
Menjadi tuan rumah berarti harus siap tidak hanya secara infrastruktur dan penyelenggaraan, tetapi juga dari sisi prestasi. Tentu akan ironis jika Abdya menggelar MTQ megah di tanah sendiri, namun kembali menjadi penonton di arena kompetisi.
Karena itu, dua tahun ke depan adalah waktu emas untuk membangun fondasi kebangkitan. Pemerintah daerah perlu membentuk tim khusus pembinaan qari dan qariah, menggandeng para ulama, guru tahfiz, dan lembaga pendidikan Islam.
Program pembinaan harus dilakukan secara berkesinambungan, bukan musiman. Lebih jauh, pelatihan intensif berbasis kompetensi dan pendampingan psikologis bagi peserta juga penting agar mereka siap menghadapi tekanan kompetisi tingkat provinsi.
Prestasi dalam MTQ tidak hanya soal piala atau peringkat. Lebih dari itu, ini tentang martabat dan kecintaan terhadap Al-Qur’an. Abdya dikenal sebagai daerah religius dengan tradisi keislaman yang kuat. Sudah sepatutnya semangat itu tercermin pula dalam panggung MTQ.
Kegagalan dua kali berturut-turut seharusnya menjadi bahan renungan, bukan sekadar disesali. Sebab dari kegagalan itu lahir peluang untuk memperbaiki diri. Bila Abdya mampu melakukan evaluasi menyeluruh dan membangun sistem pembinaan yang terarah, bukan mustahil pada MTQ 2027 nanti, Abdya bukan hanya dikenal sebagai tuan rumah, tetapi juga sebagai daerah yang bangkit membawa cahaya baru dalam syiar Al-Qur’an di tanoeh Aceh.[]
