Banner Niagahoster
Ramadhan

Derita Bocah Nias Selatan dalam Cengkeraman Kekerasan Keluarga, Kisahnya Menyayat Hati

Seorang bocah di Nias Selatan menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri hingga mengalami cacat permanen. (Foto kolase INISIATIF.CO)

INISIATIF.CO, Nias – Di sebuah desa terpencil di Kabupaten Nias Selatan, angin berbisik membawa cerita pilu seorang bocah berusia 10 tahun. Namanya mungkin tak tercatat dalam sejarah, tetapi luka-lukanya menggores dinding kegetiran yang tak terucap.

Sudah bertahun-tahun, tangisannya tenggelam dalam kebisuan rumah pamannya—tempat yang seharusnya menjadi pelindung, justru berubah menjadi sangkar derita.

Bank Aceh

Sejak bayi, ia telah kehilangan hangatnya dekapan orang tua. Ayah dan ibunya memilih merantau setelah pernikahan mereka retak, orang tuanya meninggalkannya seperti daun kering yang terhempas. Pamannya, yang awalnya diharapkan menjadi pengganti kasih sayang, justru membawa petaka. Rumah itu, yang semula dianggap sebagai tempat berlindung, perlahan berubah menjadi penjara derita.

Setiap matahari terbit, bocah itu dipaksa menanggung beban melebihi usianya. Tangannya yang masih kecil harus mengangkat ember air, menyapu lantai, atau membersihkan kandang ayam—pekerjaan yang membuat tulang-tulang rapuhnya nyaris remuk. Kesalahan kecil, seperti tumpahnya setetes air atau terlambat menyapu, berujung pada amukan sang paman dan tantenya. Tamparan, tendangan, dan bentakan menjadi menu harian.

Suatu hari, ledakan kemarahan itu memuncak. Tubuh mungilnya didorong hingga terjatuh ke tanah keras. Dentum patahnya tulang kaki menggemuruh, tapi tak ada yang mendengar. Tanpa belas, ia dibiarkan merintih di kandang ayam yang lembap, ditemani bau anyir kotoran dan rasa sakit yang menyayat.

Hari-hari berlalu, lukanya mengering dengan cara tidak biasa. Kaki kanannya membengkok permanen, saksi bisu kezaliman yang tak pernah diobati. Malam-malam panjang ia habiskan dalam gelap, perutnya selalu menahan lapar. Kadang ia diberi makan, yang tersaji hanyalah nasi basi—pamannya berkata itu lebih dari cukup untuk “pengemis kecil”.

“Aku ingin lari… tapi ke mana?” bisiknya suatu malam, saat bulan menyembunyikan wajahnya di balik awan.

Beberapa kali ia mencoba kabur, tapi tubuh lemahnya selalu tertangkap. Cambuk dan hinaan menjadi balasan. Namun, tekadnya tak padam. Suatu sore, ia memberanikan diri menceritakan semua deritanya pada tetangga yang kebetulan lewat. Kata-katanya tersendat, air mata mengalir deras, seolah membuka pintu yang selama ini terkunci rapat.

Kabar itu menyebar cepat, mengguncang hati warga desa. Bagaimana mungkin keluarga sendiri tega menyiksa darah dagingnya? Bagaimana mungkin seorang anak harus hidup dalam kandang, menanggung luka dan rasa lapar, sementara dunia di luar terus berputar?

Kini, meski ceritanya mulai terdengar, pertanyaan besar masih menggantung: Akankah keadilan benar-benar datang untuknya? Atau kisah ini hanya akan menjadi satu lagi episode tragis yang terlupakan, seperti daun kering yang terinjak-injak di jalanan Nias Selatan?

Di balik senyapnya desa itu, bocah itu masih menunggu—dengan kaki patah, hati yang terluka, dan harapan yang mungkin suatu hari akan pulang, bersama kehangatan yang semestinya ia dapatkan sejak lama.[]

Editor : Ikbal Fanika Penulis : Ikbal Fanika
Iklan BRI
Tutup