BRA Peringatkan Politisi Benny Harman: Jangan Sembarang Tafsirkan MoU Helsinki

Jamaluddin menegaskan MoU Helsinki memiliki landasan hukum yang jelas dan tidak boleh ditafsirkan secara bebas oleh politisi nasional. [Foto: Kolase INISIATIF.CO]

Inisiatif.co Politisi nasional diminta tidak “menakwilkan” MoU Helsinki sesuka hati. Peringatan itu disampaikan Jamaluddin, SH, M.Kn, Kepala Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menanggapi pernyataan anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Benny K. Harman, yang meminta rakyat Aceh berhenti mengangkat isu MoU Helsinki yang usianya telah 20 tahun.

Menurut Jamaluddin, MoU Helsinki bukan sekadar dokumen masa lalu, melainkan landasan juridis-historis yang menjadi fondasi perdamaian Aceh. Karena itu, setiap politisi nasional harus memahami status MoU dalam sistem hukum Indonesia.

“MoU Helsinki merupakan penegasan komitmen bersama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua,” ujar Jamaluddin.

Ia meminta Benny untuk membaca kembali konsideran (e) dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), serta memahami kedudukan MoU dalam asas hukum nasional.

Jamaluddin menilai wajar bila rakyat Aceh masih menuntut realisasi penuh MoU Helsinki. Pasalnya, sejumlah kewenangan dan hak-hak Aceh yang dijanjikan dalam kesepakatan damai tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

“Pak Benny bilang agar rakyat Aceh jangan sedikit-sedikit bawa MoU Helsinki. Ya wajar rakyat Aceh menuntut realisasi MoU itu. Kalau kewenangan dan hak-hak Aceh sebagaimana disepakati sudah dipenuhi, baru boleh Pak Benny bicara demikian,” tegas mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala ini.

Ia menambahkan, politisi nasional tidak boleh menafsirkan MoU Helsinki hanya berdasarkan opini pribadi.

Lebih lanjut, Jamaluddin meminta Benny melihat kembali Instruksi Presiden (Inpres) No. 15 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan GAM. Inpres tersebut memberi mandat jelas kepada Gubernur Aceh untuk menjalankan proses reintegrasi dan memberdayakan mantan kombatan GAM.

“Atas dasar Inpres itu, Pemerintah Aceh menyiapkan langkah implementasi, termasuk membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sebagai lembaga pemberdayaan mantan kombatan dan korban konflik,” jelasnya.

Jamaluddin menilai, selama butir-butir kesepakatan MoU belum sepenuhnya dijalankan, masyarakat Aceh berhak terus menyuarakannya, meski itu mendapat resistensi dari politisi nasional.

“Sudah 20 tahun usia perdamaian Aceh. Tapi perjuangan rakyat Aceh untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya belum selesai. Karena itu, isu MoU Helsinki akan terus dibawa,” tutupnya.[]

Editor : Yurisman
inisiatifberdampak
Tutup