Bekerja Ikhlas Seperti Mualem

[Foto: Dok. INISIATIF.CO/Karikatur Ins]

Inisiatif Logo — Pada awal masa kepemimpinannya, banyak yang meragukan kemampuan Muzakir Manaf (Mualem) dalam mengelola pemerintahan Aceh yang sarat tantangan. Ada yang menganggap latar belakang militer dan politiknya belum tentu sejalan dengan kebutuhan birokrasi modern. Ada juga yang beranggapan bahwa ‘orang berpendidikan’ menjadi faktor krusial suksesnya dalam memimpin sebuah daerah.

Namun sejarah kerap membuktikan bahwa ujian besar justru melahirkan pemimpin sejati. Dan bagi Mualem, ujian itu datang begitu cepat, begitu berat, bencana hidrometeorologi yang menyapu Aceh dan sebagian besar Sumatra.

Dalam rentang waktu beberapa hari, Aceh berubah menjadi kepingan-kepingan kedaruratan. Jembatan putus, jaringan listrik lumpuh, ribuan rumah tenggelam, ratusan ribu warga terisolasi, dan akses darat ke banyak wilayah terputus total.

Pada saat inilah karakter seorang pemimpin diuji. Dan Mualem memilih jalan yang paling sulit. Turun langsung, dari satu titik bencana ke titik lainnya, tanpa jeda. Dari raut wajahnya yang tampak letih di setiap dokumentasi, jelas terlihat bahwa ini bukan sekadar peninjauan untuk pencitraan, tetapi sebuah kerja batin yang tulus dan ikhlas.

Tidak ada daerah yang absen dari kunjungannya. Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Langsa, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Nagan Raya, hingga Aceh Singkil, semuanya disambangi, semuanya diperlakukan setara.

Dalam situasi di mana masyarakat panik, akses lumpuh, dan informasi simpang siur, kehadiran seorang pemimpin bukan hanya pelengkap. Ia adalah penopang psikologis, penenang hati warga yang kehilangan rumah, harta, bahkan anggota keluarga. Mualem memahami itu. Dan itulah yang membuatnya terus bergerak.

Salah satu momen paling krusial adalah ketika akses listrik di Aceh padam masif akibat puluhan tiang tumbang dan gardu rusak. PLN membutuhkan dukungan logistik, koordinasi, dan mobilisasi lintas lembaga untuk memperbaiki jaringan di Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara, tiga wilayah dengan kerusakan terberat. Kehadiran Gubernur mempercepat koordinasi, memperkuat legitimasi di lapangan, dan memastikan bahwa kerja besar ini tidak terhambat birokrasi.

Begitu pula saat jembatan Teupin Mane di Bireuen putus, memutus jalur utama Banda Aceh–Medan. Ketika Presiden Prabowo datang dan melihat langsung kondisi tersebut, Mualem hadir bukan hanya sebagai pendamping, tetapi sebagai penghubung antara Jakarta dan realitas Aceh di lapangan. Ia memahami detail kerusakan, hambatan, hingga kebutuhan alat berat yang mesti digeser dari kabupaten lain.

Kita juga melihat bagaimana Mualem berada di antara para pengungsi, mengecek dapur umum, memastikan layanan kesehatan darurat tersedia, dan menghadiri rapat-rapat tanggap bencana yang berlangsung hingga larut malam. Pada banyak momen, wajahnya memang tampak letih, tapi di saat yang sama, ada keteguhan yang sulit dipalsukan.

Menariknya, kepemimpinan Mualem pada situasi krisis ini juga menepis anggapan bahwa ia hanya akan mengandalkan gaya kepemimpinan keras. Justru yang muncul adalah pendekatan humanis. Ia mendahulukan warga, memastikan akses bagi tim penolong, dan menegaskan bahwa setiap pengungsi memiliki hak yang sama dalam menerima bantuan.

Ketika ratusan ribu jiwa di Aceh Tamiang terimbas banjir besar dan akses komunikasi putus total, ia tidak menunggu laporan dari meja kerja. Ia turun, berkoordinasi, dan bergerak bersama tim SAR. Hal itu selaras dengan nilai-nilai dasar kepemimpinan Aceh, dekat dengan rakyat, bukan hanya memimpin dari mimbar dan ruang ber-AC.

Dan inilah definisi kepemimpinan yang sesungguhnya, pemimpin yang hadir bukan hanya saat acara seremonial, tetapi pada hari-hari ketika rakyat sedang terpuruk.

Mualem sedang diuji, dan mungkin ujian ini belum berakhir. Namun satu hal yang jelas, ia telah menunjukan bahwa menjadi pemimpin bukan soal jabatan, melainkan keberanian untuk berdiri paling depan ketika rakyat dalam bahaya. Ikhtiar yang ia tunjukkan di tengah bencana hidrometeorologi ini membuat publik kembali mengingat esensi kepemimpinan, kerja ikhlas, tanpa banyak retorik, tanpa banyak kamera.

Sekarang, rakyat Aceh mulai melihat sosok pemimpin yang bukan hanya memerintah, tetapi bekerja untuk mereka. Bencana ini mungkin menyisakan luka, tetapi juga membuka mata bahwa harapan itu masih ada dan sebagian harapan itu bernama Mualem. Takzim ke Mualem!

Editor : Tim Redaksi
inisiatifberdampak
Tutup