Ramadhan

Bahkan Baliho Pun Wajib Tutup Aurat di Aceh

Salah satu bilboard terpancang di sebuah sudut kota Banda Aceh mempertontonkan aurat laki-laki menuai polemik dan perbincangan hangat warga kota. Foto direkam Selasa (24/3/2025).

INISIATIF.CO – Aceh bukan sekadar wilayah geografis atau sebuah peta mati, melainkan ssbuah wilayah sakral yang memadukan tradisi, agama, dan identitas budaya secara harmonis.

Sebagai daerah istimewa, Aceh memiliki otonomi khusus dalam menerapkan syariat Islam, sebuah warisan yang berakar sejak era Kesultanan Aceh Darussalam hingga kini. Di sini, nilai-nilai agama tidak hanya menjadi pedoman individu, tetapi juga tatanan sosial yang mengikat seluruh lapisan masyarakat.

Larangan membuka aurat di depan umum, baik bagi laki-laki yang mengenakan celana pendek maupun perempuan yang tidak berhijab, bukan sekadar aturan formal, melainkan bentuk komitmen kolektif untuk menjaga kesopanan dan martabat manusia sesuai ajaran Islam.

Jangankan manusia, bahkan baliho, spanduk, dan iklan di sepanjang jalan pun “dipaksa” menutup aurat. Gambar wanita tanpa hijab atau laki-laki berpakaian minim terlihat tidak umum di negeri berjuluk Serambi Mekah ini. Ini lah spesialnya Aceh.

Budaya Islam telah mengakar sejak lama di tanoeh Aceh. Islam menekankan pentingnya menutup aurat sebagai bagian dari menjaga kehormatan diri dan menghindari fitnah. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur ayat 31: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.” Begitu pula laki-laki diperintahkan untuk menjaga auratnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Paha adalah aurat” (HR. Bukhari).

Dalam konteks Aceh, aturan ini bukan sekadar paksaan, melainkan kesadaran yang tumbuh dari pemahaman agama yang kental dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal.

Bagi pengunjung yang datang ke Aceh, menyesuaikan diri dengan norma setempat adalah bentuk penghargaan terhadap kearifan masyarakatnya. Aceh memang keras dalam prinsip, tetapi lembut dalam sikap. Masyarakatnya terkenal ramah, sopan, dan menjamin rasa aman bagi setiap pendatang. Bahkan ada hadih maja dalam bahasa Aceh menyebutkan “peumulia jamee adat geutanyoe (memuliakan tamu adalah adat kita).”

Orang Aceh tidak memaksa orang luar untuk mengadopsi keyakinannya, tetapi mengharapkan sikap saling menghormati. Sebagaimana pesan Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang tidak mengasihi manusia, dia tidak dikasihi Allah” (HR. Tirmidzi). Inilah etika universal yang dipegang teguh orang Aceh, tegas dalam prinsip, tetapi penuh welas asih dalam pergaulan.

Poster dan baliho yang menghiasi kota dengan pesan-pesan penutupan aurat bukanlah sekadar hiasan, melainkan pengingat akan tanggung jawab bersama. Aceh ingin menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan moralitas, dan modernitas bisa berjalan beriringan dengan nilai-nilai agama. Bagi mereka, syariat Islam adalah pelindung, bukan penghalang. Ia menjadi benteng yang menjaga masyarakat dari dekadensi moral tanpa menafikan hak-hak dasar manusia.

Karena itu, bagi siapapun yang berkunjung ke Aceh, bersiaplah untuk menyelami sebuah peradaban yang memadukan keteguhan iman dan keramahan budaya.

Di sini, anda akan merasakan keamanan, keteraturan, dan kehangatan masyarakat yang bangga dengan identitasnya. Aceh mengajarkan kita bahwa hidup bermartabat dimulai dari kesadaran akan batasan, bukan sebagai pembatas kebebasan, melainkan sebagai penjaga kesucian manusia. Dan dalam koridor itulah, kebahagiaan sejati ditemukan.[]

Editor : Ikbal Fanika
Tutup