Banner Niagahoster
Ramadhan

Antara Syariat Islam, Modernisasi, dan Tantangan Transisi Politik

Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

INISIATIF.CO – Aceh sedang berada di persimpangan krusial. Di satu sisi, ia berusaha mempertahankan identitas keislaman dan otonomi khusus yang menjadi fondasi historisnya. Di sisi lain, ia terjebak dalam tarikan globalisasi yang menuntut modernisasi infrastruktur, ekonomi, dan sumber daya manusia yang disusun Pj Gubernur.

Safrizal ZA mencoba menjawab dilema ini dengan merangkul syariat Islam dan pembangunan modern sekaligus. Namun, dokumen RPJMA ini justru mengabaikan akar masalah, kontradiksi antara nilai-nilai konservatif dengan tuntutan inklusivitas pembangunan, serta kerapuhan transisi politik yang berpotensi menggagalkan seluruh agenda.

Hari Pers Nasional

Klaim bahwa Aceh bisa menjadi “Islami, maju, dan berkelanjutan” dalam satu tarikan napas adalah ilusi. Visi ini mengabaikan ketegangan laten antara penerapan syariat Islam secara kaffah dengan kebutuhan pembangunan yang inklusif. Ambil contoh program digitalisasi dan peningkatan daya saing SDM. Praktik syariat Islam di Aceh, seperti aturan berpakaian, pembatasan jam malam bagi perempuan dan segregasi gender, sering kali bertabrakan dengan prinsip kebebasan berekspresi dan partisipasi global.

Bagaimana Aceh bisa membangun pusat teknologi jika tenaga ahli perempuan dibatasi ruang geraknya oleh interpretasi sempit syariat? Bagaimana industri halal bisa bersaing di pasar global jika kebijakan lokal justru mengisolasi Aceh dari dinamika pluralisme? Upaya memadukan dua kutub ini hanya akan melahirkan kebijakan setengah hati, syariat dipakai sebagai simbol politik, sementara modernisasi dikorbankan demi legitimasi kekuasaan.

Transisi politik yang terjadi menjelang pelantikan Gubernur Muzakir Manaf juga mengancam konsistensi RPJMA. Dokumen RPJMA yang disusun pemerintahan caretaker ini berisiko menjadi beban bagi kepemimpinan baru. Sejarah membuktikan, rencana pembangunan yang dirancang tanpa partisipasi penuh pemegang mandat rakyat sering kali berakhir sebagai dokumen mati. Pertanyaannya, akankah Muzakir Manaf, yang memiliki basis politik berbeda, tunduk pada cetak biru warisan Safrizal? Atau justru ia akan merombak total RPJMA untuk menegaskan otoritasnya? Jika terjadi tarik-ulur kepentingan, yang menjadi korban adalah masyarakat Aceh yang menunggu janji kesejahteraan.

Tidak hanya itu, ambisi 9 program gerak cepat dan 21 prioritas dalam RPJMA terkesan naif. Aceh masih bergulat dengan keterbatasan anggaran, korupsi sistemik, dan kapasitas birokrasi yang lemah. Program seperti dana abadi pendidikan dan sistem satu data Aceh membutuhkan modal besar serta tata kelola transparan.

Sementara itu, angka kemiskinan yang mencapai 1,8 juta jiwa tidak cukup diatasi dengan program makan bergizi gratis. Tanpa pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, kebijakan ini hanya akan menjadi bantuan sesaat yang menguap setelah anggaran habis.

Di tengah semua ini, RPJMA juga lalai menyentuh isu krusial, rekonsiliasi pasca-konflik. MoU Helsinki mungkin menjadi fondasi perdamaian, tetapi stabilitas Aceh masih rapuh. Pembangunan infrastruktur dan UMKM tidak akan berarti jika mantan kombatan GAM dan korban konflik terus merasa terpinggirkan. Ketiadaan program inklusi bagi kelompok rentan dalam RPJMA ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus pada pencitraan politik ketimbang menyembuhkan luka sejarah.

Pada akhirnya, RPJMA 2025-2029 adalah cermin dari kegamangan Aceh menghadapi masa depan. Ia ingin menjadi modern tanpa melepas jubah keislaman, ingin mandiri tetapi tetap menggantungkan dana pada pusat, ingin damai tetapi abai pada akar konflik. Jika tiga tantangan utama—keselarasan politik, kapasitas anggaran, dan partisipasi publik—tidak diatasi, RPJMA ini hanya akan menjadi monumen kebanggaan birokrat, bukan peta jalan perubahan. Aceh tidak perlu lagi retorika tentang “Islami” atau “maju”. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memilih, menjadi benteng konservatisme atau pelopor pembangunan inklusif. Pilihan itu harus dibuat sekarang,sebelum jurang kontradiksi melebar dan menelan seluruh impian besar ini.[redaksi].

Editor : Ikbal Fanika
Iklan BRI
Tutup