HUT RI Ke 80

Antara Cinta dan Panggilan Ka’bah: Sebuah Ujian Iman dan Kesetiaan

Foto ilustrasi. (Shutterstock).

Namun, di rumah, Waklah hancur. Ia merasa gagal sebagai suami. “Aku tidak bisa memberinya kebahagiaan, sampai ia memilih pergi sendiri,” gumannya getir. Rasa malu pada tetangga yang mungkin menilai dirinya “tidak mampu” membayangi pikirannya.

Di Mekkah, Munah terpukau oleh kemegahan Masjidil Haram. Namun, kekhusyukannya terusik oleh rasa bersalah. Setiap kali ia melihat pasangan suami-istri beribadah bersama, hatinya tertusuk. “Seharusnya Abang ada di sini…” bisiknya. Ia mulai mempertanyakan keputusannya. Apakah Umrah-nya ikhlas, atau sekadar pelarian dari kehidupan yang ia anggap “terbelenggu”?

Suatu malam, di depan Ka’bah, ia berdoa: “Ya Allah, jika ini jalan-Mu, berilah aku ketenangan. Jika tidak, tunjukkan aku jalan kembali…”

Sementara itu, Waklah terjebak dalam kesepian. Hutang Munah mulai membebani. Setiap telepon dari bank menyiratkan ancaman. Ia pun terpaksa bekerja lembur sebagai ojek online, mengorbankan kesehatannya. Suatu hari, ia kolaps di jalanan. Seorang tetangga membawanya ke rumah sakit.

Ketika Munah menelepon, Waklah tak menjawab. Ia baru tahu suaminya sakit dari pesan tetangga. Rasa bersalahnya membuncah. “Aku egois. Aku merusak segalanya demi keinginanku,” ratapnya.

Dua minggu kemudian, Munah pulang. Rumah yang ditinggalkannya terasa dingin. Waklah, yang masih lemah, menyambutnya dengan wajah datar.

“Maafkan aku,” Munah bersujud.
“Aku juga bersalah,” Waklah membalas. “Aku terlalu fokus pada harga diri, bukan pada perasaanmu.”
Mereka berpelukan, namun keduanya sadar: luka ini butuh waktu lama untuk sembuh.

“Sebaik-baiknya amal adalah yang tepat waktu dan tempatnya,” nasehat Waklah kepada istrinya.[]

Editor : Redaksi Penulis : Ikbal Fanika
inisiatifberdampak
Tutup