Antara Cinta dan Panggilan Ka’bah: Sebuah Ujian Iman dan Kesetiaan
INISIATIF.CO – Di sebuah kota kecil tepi lautan, hiduplah pasangan suami-istri, Waklah dan Maimunah. Mereka menikah lima tahun silam dengan janji sederhana yakni mengarungi bahtera rumah tangga suka dan duka bersama.
Waklah seorang guru honorer di sekolah negeri, dan Maimunah, penjahit baju muslim, menjalani hidup serba kertebatasan.

Gaji pas-pasan, namun mereka bahagia karena saling mencintai. Hingga suatu hari, keinginan Maimunah untuk menunaikan Umrah memicu badai dalam rumah tangga mereka.
Sejak kecil, Maimunah selalu bermimpi menginjakkan tapak di Tanah Suci. Setiap kali mendengar cerita jemaah Umrah, matanya berkaca-kaca. “Suatu hari, kita harus ke sana bersama-sama,” ujarnya pada Waklah pada suatu malam, setahun setelah pernikahan.
Waklah tersenyum lemah. Gajinya yang tak menentu membuat impian itu terasa mustahil. Namun, Maimunah terus berdoa dan menabung sedikit demi sedikit hasil sulam kain baju pesanan tetangga.
Titik balik muncul ketika Maimunah bergabung dengan komunitas ibu-ibu pengajian. Di sana, ia kerap mendengar kisah perempuan yang “diberi kemudahan oleh Allah” untuk berangkat Umrah secara mendadak. “Mungkin rezeki tidak harus menunggu suami,” bisik salah seorang anggota pengajian ibu-ibu sore Jumat itu.
Kalimat itu mengendap di benak Munah. Ia mulai melirik tawaran pembiayaan Umrah dari bank syariah. Tanpa sepengetahuan Waklah, ia mendaftar dan disetujui.
Suatu sore, Munah memberanikan diri berbicara. “Sayang, aku… aku diterima untuk berangkat Umrah bulan depan.”
Waklan tertegun. “Dengan biaya apa? Kita tak punya tabungan sebanyak itu.”
Munah menunduk. “Aku… mengajukan pinjaman.”
Waklan bangkit, wajahnya memerah. “Kau tidak pernah berdiskusi denganku? Ini hutang, Munah! Hutang!”
“Tapi ini untuk ibadah!, saya mau berdoa di depan Kakbah supaya kondisi keuangan kita berubah” bantah Munah sengan suaranya gemetar. “Aku sudah menunggu terlalu lama. Kau tidak mengerti perasaan perempuan yang ingin menyentuh Ka’bah!” cetus Munah pada suaminya itu.
Argumen itu berakhir dengan air mata. Waklah merasa dikhianati. Baginya, Maimunah telah memprioritaskan ego di atas komitmen mereka. “Kita selalu bilang akan melakukan segala sesuatu bersama. Kenapa sekarang kau berubah?” tanyanya lirih. Munah hanya terdiam, hatinya tersiksa antara keinginan pribadi dan janji pernikahan.
Keberangkatan yang Menyisakan Luka
Hari keberangkatan tiba. Waklah menolak mengantar Munah ke bandara. “Jika kau tetap nekat, tanggung sendiri konsekuensinya,” katanya dengan pedas. Munah pergi sambil menangis, membawa koper kecil dan hati yang berat. Di pesawat, ia mencoba membenarkan diri: “Ini untuk Allah. Suamiku pasti akan paham suatu hari nanti.”
Namun, di rumah, Waklah hancur. Ia merasa gagal sebagai suami. “Aku tidak bisa memberinya kebahagiaan, sampai ia memilih pergi sendiri,” gumannya getir. Rasa malu pada tetangga yang mungkin menilai dirinya “tidak mampu” membayangi pikirannya.
Di Mekkah, Munah terpukau oleh kemegahan Masjidil Haram. Namun, kekhusyukannya terusik oleh rasa bersalah. Setiap kali ia melihat pasangan suami-istri beribadah bersama, hatinya tertusuk. “Seharusnya Abang ada di sini…” bisiknya. Ia mulai mempertanyakan keputusannya. Apakah Umrah-nya ikhlas, atau sekadar pelarian dari kehidupan yang ia anggap “terbelenggu”?
Suatu malam, di depan Ka’bah, ia berdoa: “Ya Allah, jika ini jalan-Mu, berilah aku ketenangan. Jika tidak, tunjukkan aku jalan kembali…”
Sementara itu, Waklah terjebak dalam kesepian. Hutang Munah mulai membebani. Setiap telepon dari bank menyiratkan ancaman. Ia pun terpaksa bekerja lembur sebagai ojek online, mengorbankan kesehatannya. Suatu hari, ia kolaps di jalanan. Seorang tetangga membawanya ke rumah sakit.
Ketika Munah menelepon, Waklah tak menjawab. Ia baru tahu suaminya sakit dari pesan tetangga. Rasa bersalahnya membuncah. “Aku egois. Aku merusak segalanya demi keinginanku,” ratapnya.
Dua minggu kemudian, Munah pulang. Rumah yang ditinggalkannya terasa dingin. Waklah, yang masih lemah, menyambutnya dengan wajah datar.
“Maafkan aku,” Munah bersujud.
“Aku juga bersalah,” Waklah membalas. “Aku terlalu fokus pada harga diri, bukan pada perasaanmu.”
Mereka berpelukan, namun keduanya sadar: luka ini butuh waktu lama untuk sembuh.
“Sebaik-baiknya amal adalah yang tepat waktu dan tempatnya,” nasehat Waklah kepada istrinya.[]